Selasa, 18 Desember 2012

Reformasi 1998: Sebuah Sketsa Singkat Lagi Pelit

Bangsa ini selalu lupa sejarah. Jangankan yang lampau jauh berabad-abad, sejarah satu-dua dekade yang lalu saja sudah lenyap dari ingatan.

Kiranya, semua aktivis mahasiswa 98 sepakat kalau reformasi di tahun itu bukan perkara melengserkan  Soeharto semata. Ada sejumlah agenda politik tentang Indonesia baru, yaitu penyelenggaraan negara yang  bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), demokrasi dan supremasi sipil.

Melalui KPK, agenda bersih korupsi masih berjalan. Akan tetapi, agenda ini punya dua kelalaian. Pertama,  lalai terhadap korupsi ORBA, dan kedua, lalai mengawal sehingga praktik korupsi terus terjadi. Dan itu jelas sebuah ironi, seakan agenda bukan lagi sebuah proyeksi melainkan preseden belaka. Kendati begitu, agenda pemberantasan korupsi masih lebih baik, ketimbang agenda bersih dari kolusi dan nepotisme yang lebih banyak luput dari wacana atau kritik politik, seolah kedua penyelewengan itu sudah benar-benar bersih.

Demokrasi mengalami pembaharuan mekanisme yang tiada tara. Yang luar biasa adalah kebebasan mendirikan partai serta pilpres dan pilkada langsung. Memang ada resiko yang ditimbulkan, tetapi akan lebih baik ke depan kalau ledakan tersebut dipandang sebagai prestasi, yang akan terus kita benah melalui edukasi, rekruitmen, dan seleksi politik. Di situ, bukan saja partai tapi segenap elemen sipil punya tanggung jawab.

Supremasi sipil adalah agenda yang cenderung, untuk tidak mengatakan bahwa benar-benar mandeg. Dalam pengertian yang paling sederhana, supremasi sipil berarti memberi peran utama penyelenggaraan negara ke tangan sipil. Agenda ini sudah berjalan, setidaknya di awal, di mana tiga presiden pasca Soeharto berasal dari sipil. Tetapi sejak 2004, kembali seorang purnawirawan tentara menjadi presiden. Buat saya, ini sungguh suatu kegagalan, terutama karena belakangan ini jelas nampak bahwa sang jenderal "gagap sipil". Kegagapan itulah yang membuat dia terkesan lamban dan tidak tegas. Seringlah kita dengar selentingan, bagaimana mungkin seorang jenderal bisa lamban dan tidak tegas?! Sebagai tentara, sudah barang tentu dia dididik untuk cepat dan tegas, tetapi kiranya tepat untuk mengatakan bahwa dunia tentara lain dengan dunia sipil, apalagi sipil yang kini sedang meledak-ledak. Dengan pengalaman itu, dan demi supremasi sipil, maka ke depan kita sebaiknya memilih pemimpin dengan watak sipil yang mumpuni untuk mengelolah negara ini, lantaran mayoritas warganya adalah sipil. Sebagai tambahan, pemimpin berwatak sipil adalah mereka yang dibesarkan ditengah-tengah masyarakat sipil, punya habitus sipil, dan bukan dari barak tentara.

Ada kredo, bahwasannya sejarah itu ingatan. Itu berarti, kita (memang) tak punya sejarah kalau kita tak punya ingatan!